• logo nu online
Home Warta Nasional Daerah Melayu Keislaman Opini Pendidikan Sosok Khutbah Pemerintah Parlemen Pustaka Video Mitra
Rabu, 15 Januari 2025

Daerah

Keutamaan Guru dan Murid dalam Perspektif Islam

Keutamaan Guru dan Murid dalam Perspektif Islam
Keutamaan Guru dan Murid dalam Perspektif Islam.(Foto:NUOK/ist)
Keutamaan Guru dan Murid dalam Perspektif Islam.(Foto:NUOK/ist)

Siak , NU Online Kepri

Memberikan ilmu pengetahuan kepada siapapun walau hanya satu huruf adalah suatu perbuatan yang mulia lagi luhur, karena dengan adanya  transfer of knowledge seorang yang tadinya tidak mengerti huruf, tidak bisa mengeja dan membaca serta menganilisa terhadap suatu kalimat, ayat atau fenomena alam, berkat bimbingan dan tuntunan seorang guru, maka murid tersebut dapat membaca, memahami dan menganilisa terhadap pesan pesan ilahiah baik berupa ayat qur’aniyah maupun ayat kauniyah.


Ingat ! ayat al-Qur’an pertama kali turun adalah surat al-‘alaq, yang berbunyi Iqra’ artinya: Bacalah !. ayat ini menegaskan kepada kita semua bahwasanya perintah Allah SWT kepada ummat manusia yang pertama kali turun adalah membaca, bukan perintah: sholat, puasa, zakat ataupun haji. Dengan membaca/belajar maka ilmu pengetahuan seseorang semakin bertambah, dengan membaca/belajar seseorang dapat mengetahui mana yang halal dan haram, dengan membaca maka ilmu seseorang akan semakin luas, sehingga pemikirannya tidak jumud dan tentunya akan semakin moderat dan tidak mudah menyalahkan orang lain, dengan membaca dan berfikir maka keimanan seseorang semakin bertambah kuat.


Banyak literatur di dalam al-Qur’an maupun Hadits tentang keutamaan orang yang mencari/menuntut serta mengamalkan ilmu, tentunya bagi seseorang guru dan murid yang terlibat secara aktif di dalam proses belajar mengajar di kelas, maupun bentuk halaqoh, pengkajian ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya adalah proses pengajaran al-Qu’an sebagai sumber utama ilmu pengetahuan sekaligus kitab suci ummat Islam, sehingga murid tersebut dapat membaca al-Qu’an dengan benar dan fasih, serta mengamalkan isi kandungannya dalam kehidupan sehari hari.  Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah di dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 122.

 

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَࣖ ۝١٢٢
Artinya: “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?


Ayat ini dengan tegas menekankan kepada ummat Islam agar selayaknya tidak semua manusia ikut pergi ke medan jihad perang, jika semua ummat islam pergi ke medan perang, maka siapa yang akan mengajari anak anak yang belum bisa membaca alqur’an, siapa guru guru yang akan menebarkan ilmunya Allah di muka bumi ini. Tentunya ini akan berakibat pada pembodohan secara massif, sebab jika semua ummat islam akan berangkat jihad termasuk di dalamnya orang yang alim dalam hal ilmu pengetahuan, maka ketika sialim tersebut gugur di medan peperangan siapa yang akan menjadi penggantinya. Sebab ketika seorang alim meninggal dunia maka itu pertanda matinya alam. ungkapan mautul ‘alim mautul alam itu mengibaratkan bahwa ilmu adalah cahaya di alam semesta ini yang menerangi orang dari kegelapan kepada alam yang terang-benderang. Ketika tidak ada ilmu dengan kematiannya orang alim, terjadilah kegelapan.


Tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk dapat mengajari anak anak ngaji, praktik sholat, mendalam ilmu agama, serta ilmu berhitung dan ilmu social maupun ilmu alam, dikarenakan disibukan dengan tugas jihad di medan perang. Jihad dalam konstek sekarang bervariasi bentuknya ada yang: bekerja di kebun sawit, di pabrik kelapa sawit, di toko dan lain sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang rela dan Ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya untuk mengajari ngaji alqur’an, menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmunya Allah, agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islamiyah dengan cara dan metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik.


dalam surat al-Mujadilah ayat 11, dijelaskan tentang kelebihan  seseorang yang beriman dan berilmu dengan beberapa derajat yang mulia, dibandingkan dengan orang bodoh lagi tak beriman.
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ
Artinya: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."

Maksud dari ayat di atas adalah derajat orang yang beriman dan berilmu adalah ibarat setali mata uang yang tak dapat dipisahkan, sebab orang yang beriman tidak mungkin dapat menjalankan ibadah dengan baik dan benar jika tidak mengetahui dasar ilmunya, Demikian juga sebaliknya orang yang berilmu tidak akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT bila tidak beriman/takut kepada Allah SWT, bahkan seorang yang berilmu bisa mendapatkan dosa yang berlipat bila tetap melanggar konstitusi Allah SWT. Banyaknya kasus korupsi yang melanda di Republik tercinta ini, menunjukkan  banyaknya orang berilmu tetapi rasa manis dan lezatnya iman tidak hadir di dalam hatinya.


Teladan semua ummat manusia yakni nabi Muhammad SAW sudah mengabarkan kepada kita semua perihal keutamaan orang yang dengan suka rela dan Ikhlas mau mendarma bhaktikan ilmunya untuk kemaslahatan ummat, supaya ummat dapat tercerahkan dengannya, hal ini sesuai dengan sabdanya:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Artinya :“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”


Melalui hadits di atas Rasulullah SAW sudah memberikan garansi kepada ummatnya, bahwa ummat yang terbaik adalah orang yang mau belajar alqur’an dan setelah ia dapat mengusai ilmunya tentunya mau mengajarkan alqur’an kepada orang lain.


Ketika berbicara tentang alqur’an maka ruang lingkup ilmu Allah yang termaktub di dalam  alqur’an sangat luas sekali, di dalamya terdapat aneka ilmu pengetahuan yang diibaratkan seandainya lautan dan pepohonan yang ada di atas bumi  digunakan untuk menulis ilmunya Allah SWT  maka tidak akan habis habisnya ilmunya Allah, bahkan lautan tersebut dapat mengering, sementara ilmunya Allah masih luas dan pastinya banyak yang belum dapat ditulis serta bukukan. Sebagaimana firman Allah SWT, di dalam surat Lukman ayat 27.


وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


Dan seandainya seluruh pohon yang ada di bumi berubah menjadi pena, dan seluruh air laut yang sangat banyak itu menjadi tinta untuk digunakan untuk menuliskan ilmu Allah (kalimât), niscaya pena-pena itu akan rusak dan air laut itu akan habis sebelum habisnya ilmu Allah. Karena Allah Maha perkasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan-Nya; Mahabijaksana, tidak ada sesuatu pun yang keluar dari ilmu dan hikmah-Nya. Maka ilmu dan hikmah-Nya tidak akan ada habisnya, demikian Prof . Qurays Shihab dalam menafsirkan ayat tersebut.


Sungguh garansi yang luar biasa dari Rasulluh saw ketika seseorang mau belajar dan mengamalkan ilmunya. Kita hidup di dunia saja ketika ada orang disekitar kita yang mengatakan dan bersaksi bahwasanya kita adalah orang baik perilakunya, tentu saja hati kita akan terasa senang dan berbunga bunga, apalagi sempai Rasulullah saw yang mengatakan dan bersaksi kita sebagi seorang yang baik sudah barang tentu ini jaminannya adalah surga.


Orang yang mau mengajarkan ilmu kepada orang lain tentunya ini termasuk amal jariyah yang tak akan putus putusnya walaupun orang tersebut sudah meninggal dunia, dengan catatan orang yang diwarisi ilmu tersebut mau mengamalkannya, hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW:


إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya: “Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 (perkara) : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang berdoa baginya.”


Hadits di atas menjelaskan bahwa ketika seseorang telah meninggal dunia, maka semua amalnya telah putus. Dalam arti ia tidak bisa lagi menambah perolehan pahalanya yang ia usahakan sendiri karena terhalang oleh kematiannya. Oleh sebagian orang, hadits ini dipahami sebagai larangan untuk melakukan suatu amal untuk menambah pahala bagi seseorang yang telah meninggal dunia. Padahal hadits ini sebenarnya tidak dimaksudkan seperti itu, tetapi lebih untuk memberi peringatan atau dorongan kepada kita semua yang masih hidup agar dapat memanfaatkan waktu hidup ini dengan sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allah SWT karena hidup di dunia hanya sekali dan tak pernah terulang kembali.


Oleh karenya mumpung kita masih diberi kesempatan hidup di alam dunia oleh Allah SWT dan sedikit Amanah berupa ilmu pengetahuan apa saja yang kita miliki, termasuk di dalamnya ilmu tajwid supaya dapat membaca alqur’an dengan benar dan fasih, ilmu berhitung dan lain sebagainya, mari jangan bosan bosannya untuk disebar luaskan kepada orang lain. Jangan bakhil terhadap ilmu yang kita miliki untuk di transfer kepada orang lain supaya kelak ketika kita sudah di alam baka transferan pahala tetap mengalir kepada kita,  sebab ilmu yang bermanfaat, serta barokah dan istiqomahnya dalam mengajarkan ilmu ilmunya Allah ketika masih hidup di alam dunia.


Masruri al-Barbasyi/Kontributor NU Online


Daerah Terbaru