• logo nu online
Home Warta Nasional Daerah Melayu Keislaman Opini Pendidikan Sosok Khutbah Pemerintah Parlemen Pustaka Video Mitra
Jumat, 19 April 2024

Keislaman

Khutbah Idul Fitri:Menjaga ibadah dan amal saleh selepas Ramadhan

Khutbah Idul Fitri:Menjaga ibadah dan amal saleh selepas Ramadhan
Ilustrasi
Ilustrasi

KHUTBAH IDUL FITRI 1443 H

Khutbah Pertama:

اللهُ أَكْبَرُx  9  كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا سُبُلَ السَّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، ذُواْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَّالَاهُ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ.

أَمَّا بَعْدُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ، وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
 

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

Jamaah shalat Idul Fitri Yang dimuliakan Allah.

Ramadhan telah mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Hal ini harus senantiasa kita pupuk dan jaga hingga akhir hayat kita. Jangan sampai seiring berlalunya bulan Ramadhan, maka seiring itu pula amal ibadah kita dan amal saleh kita memudar dan kemudian menghilang tanpa bekas.


Pernah suatu ketika ada seseorang bertanya kepada seorang ulama salaf, “Bagaimana pendapat engkau terhadap orang yang giat melakukan ibadah dan berbagai amal saleh di bulan Ramadhan. Namun, ketika bulan Ramadhan berakhir, maka ia pun meninggalkan semua amal salehnya?” Sang ulama pun menjawan, “Seburuk-buruknya orang adalah orang yang tidak ingat Allah kecuali pada bulan Ramadhan.” Artinya, orang tersebut meninggalkan ibadah dan berbagai amal saleh di selain bulan Ramadhan seakan-akan ia telah melupakan Allah. padahal di bulan Ramadhan ia giat melakukannya seakan-akan ia senantiasa mengingat Allah.


Lantas, apa yang kita lakukan selepas bulan Ramadhan ini agar kita tidak termasuk orang yang paling buruk? Bagaimana caranya agar kita senantiasa dapat menjaga ibadah dan amal saleh selepas Ramadhan agar tetap seperti ibadah dan amal saleh kita di bulan Ramadhan, sehingga kita benar-benar menjadi orang yang bertakwa?


 

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

Jamaah shalat Idul Fitri Yang dimuliakan Allah.

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 183:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ١٨٣

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”


Ayat ini mungkin sudah berulang kali kita dengar selama bulan Ramadhan ini. Ayat ini mengandung dua hal prinsipil yang harus kita pegang teguh hingga akhir hayat kita, agar kita tetap bisa menjaga momentum ibadah di bulan Ramadhan hingga hari-hari selanjutnya, yaitu: pertama: kalimat “Yaa Ayyuhal Ladziina aamanu” (wahai orang-rang yang beriman), yaitu memegang teguh keimanan kita kepada Allah Ta’ala. Kedua, kalimat “La’allakum tattaqun” (agar kamu bertawa), yaitu takwa.


Iman dan takwa seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Jika dipisahkan antar keduanya, maka keduanya tidak akan ada nilainya. Iman membutuhkan takwa, begitu pula takwa membutuhkan iman. Seseorang yang melakukan ketakwaan kepada Allah Ta’ala tanpa disertai keimanan kepada Allah Ta’ala, makan ketakwaannya tidak ada nilainya di sisi Allah dan akan sia-sia. Begitu juga sebaliknya, keimanan kepada Allah tanpa disertai ketakwaan kepadanya, maka tidak cukup untuk menyelamatkan kita dari murka Allah di hari Kiamat.


Orang yang beriman sudah dijamin masuk surga oleh Allah Ta’ala. Namun, apakah langsung masuk surga tanpa transit ke neraka atau harus transit ke neraga terlebih dahulu, itu tergantung kepada ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala.

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

Jamaah shalat Idul Fitri Yang dimuliakan Allah.


Pertama, Iman.

Iman merupakan hal yang utama dan istimewa yang ada di dalam diri setiap orang. Tanpa iman, hidup seseorang akan seperti kapas yang terombang-ambing tanpa arah oleh hembusan angin. Orang yang tidak beriman hidupnya akan kacau tanpa arah, ia akan mudah dihanyutkan oleh hawa nafsu tanpa arah yang pasti.


Iman akan mengontrol kehidupan manusia agar tidak terjerumus kedalam kemaksiatan kepada Allah, ia hidup terarah di jalan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Sebab, orang yang beriman meyakini setiap amal kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat. Barang siapa yang melakukan amal baik selama di dunia, ia akan mendapatkan balasan yang baik di akhirat. Barang siapa yang melakukan amal yang buruk selama di dunia, ia akan mendapatkan balasan yang buruk di akhirat. Allah Ta'ala berfirman:


فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ  (7) وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ

Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya,” (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8)


Iman merupakan berlian dan cahaya yang ada di dalam hati. Iman akan memberikan petunjuk kepada kita arah dan tujuan yang pasti dalam mengarungi kehidupan ini. Orang yang beriman akan tahu untuk apa ia hidup, yaitu untuk menyembah Allah semata. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ٥٦

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku,” (Q.S. Az-Zariyat: 56).


Ia tahu hendak kemana ia hidup, yaitu menuju kepada Allah di Surga dengan penuh keridhaan dan diridhai Allah SWT. Allah Ta'ala berfirman:

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ٢٧ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ ٢٨ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ٢٩ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ ٣٠

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku,” (Q.S. Al-Fajr: 27-30).


Tentu kita mengharapkan meninggal dalam kondisi seperti ini; tenang dan ridha karena kita sudah memiliki bekal keimanan dan ketakwaan yang cukup untuk berjumpa dengan Allah Ta'ala, sehingga ketika sakaratul maut, kita tidak memikirkan amal saleh kita yang sedikit, dosa kita yang menumpuk, dan tidak merisaukan harta yang kita tinggalkan karena kita meninggalkan anak-anak yang saleh yang dapat membagi harta warisan kita dengan adil.


Karena iman adalah cahaya yang ada di hati setiap muslim, maka iman dan keburukan tidak akan pernah bisa menyatu. Orang yang melakukan suatu keburukan dan kemaksiatan sejatinya imannya sedang tercerabut dari dalam hatinya. Rasulullah SAW. bersabda:

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ عَن رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Abu Hurairoh berkata bahwa Rasululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda: ‘Tidaklah berzina seorang pezina ketika dia berzina dalam keadaan beriman, tidaklah mencuri seorang pencuri ketika dia mencuri dalam keadaan beriman, dan tidaklah meminum khomer seorang peminum ketika dia meminumnya dalam keadaan beriman’,” (HR Muslim).


Artinya, orang yang berzina, mencuri, meminum minuman keras dan perbuatan-perbuatan buruk dan maksiat lainnya adalah orang yang keimanannya sedang hilang dari dalam dirinya. Orang yang beriman tidak akan melakukan perbuatan maksiat karena ia menyadari dan meyakini bahwa Allah Ta'ala adalah Dzat Yang Maha Melihat segala perbuatannya, serapi apapun ia menyembunyikannya, Allah Ta'ala pasti melihatnya. Ia menyadari dan meyakini bahwa Allah Ta'ala Maha Mengetahui segala sesuatu. Serapi apapun ia merahasiakannya hingga tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, tetapi Allah Ta'ala pasti mengetahuinya. 


Pernah suatu ketika Umar bin Khattab ra pergi ke Makkah, di pertengahan jalan ia bertemu dengan seorang pengembala kambing.


Lalu Umar meminta kepada pengembala untuk menjual seekor kambingnya. Namun sang pengembala berkata, “saya hanya seorang budak yang diamanahkan untuk mengembala kambing-kambing tuan saya”.


Umar kemudian berkata, “katakan saja kepada tuanmu bahwa satu ekor telah dimakan serigala”. Sang pengembala dengan spontan menjawab, “lalu di mana Allah?”


Mendengar jawaban itu, Umar ra menangis terharu. Selanjutnya Umar melepaskan dengan membeli budak itu dari tuannya, lalu berkata, “saya memerdekakan engkau di dunia semoga Allah membebaskan engkau di akhirat”.


Oleh karena itu, Iman yang ada di dalam hati ini harus kita rawat jangan sampai keimanan ini memudar atau bahkan hilang, meskipun kita harus memegang bari api. Satu di antara manusia yang memiliki integritas kuat dan komitmen keimanan adalah Bilal bin Rabah yang pernah mengalami penyiksaan dari tuannya Umayyah bin Khalaf karena telah memeluk Islam. Bilal yang dibaringkan di atas padang pasir ditindas batu di siang hari yang sangat panas, namun siksaan itu tak membuat keimanannya berubah, malahan ia berkata “Ahad! Ahad! (Allah Maha Esa).

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

Jamaah shalat Idul Fitri Yang dimuliakan Allah.


Kedua, taqwa.


Di dalam surah al-Baqarah ayat 183 yang tadi khatib baca, Allah menyeru kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan dimulai dengan ungkapan “Yaa Ayyuhalladzi na amanuu” (wahai orang-orang yang beriman). Menurut Abdullah Ibnu Mas’ud, “Jika ada ayat al-Qur’an dimulai dengan kalimat “Yaa Ayyuhalladzi na amanuu” maka hendaklah kita perhatikan dengan seksama, karena umumnya ayat tersebut mengandung seruan untuk melakukan suatu kebaikan atau seruan untuk meninggalkan keburukan.” Dengan demikian, seakan-akan Allah berfirman, “Jika kalian benar-benar beriman, maka laksanakanlah puasa Ramadhan.” Sebitu juga dengan ayat lain yang senada, seperti firman Allah Ta’ala:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ ١٧٢

“ Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya,” (Q.S. AL-Baqarah: 172).


Maksudnya adalah, jika kalian memang benar-benar berimana, maka makanlah makanan yang halal lagi baik dan bersyukurlah kepada Allah Ta’alah. Oleh karena itu, iman membutuhkan pembuktian dalam bentuk ketakwaan kepada Allah Ta’ala.

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

Jamaah shalat Idul Fitri Yang dimuliakan Allah.


Taqwa adalah menjalankan segala perintah Allah Ta’ala atas dasar iman dan ihtisab, baik yang wajib maupun yang sunnah, dan meninggalkan segala hal yang dilarang oleh-Nya, baik yang haram maupun yang makruh. Lantas, sudah layakkah kita menyandang gelar sebagai orang yang bertakwa sebagaimana yang menjadi tujuan puasa Ramadhan?


Imam Zakaria al-Anshari  menyebutkan sebuah kaidah:

مَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ نَفْسٌ لَمْ يُسْتَقْ بِهِ اِسْمٌ

Orang yang tidak punya sifat tertentu, maka ia tidak boleh dinamai dengan sifat tersebut.” 


Misalnya, si Fulan jujur. Kata “Jujur” hanya boleh disematkan jika memang si fulan benar-benar memiliki sifat jujur. Begitu pula sifat taqwa, hanya boleh disematkan kapada orang yang benar-benar memiliki sifat takwa. Lantas, apa sifat orang yang bertakwa? Allah swt. berfirman:

الۤمّۤ ۚ ١ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ ٢ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ ٣ وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ ٤

Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.” (Q.S. al-Baqarah: 1-4)


Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ١٣٣ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,  (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,” (Q.S. Ali Imran: 133-134).


Berdasarkan ayat al-Qur’an ini, ciri-ciri orang yang bertakwa adalah: orang yang memiliki keimanan yang teguh terhadap rukun iman; orang yang melaksanakan perintah Allah; dan orang yang memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Oleh karena itu, takwa merupakan sebaik-baik bekal. Allah Ta’ala berfirman:

وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ ١٩٧

Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (Q.S. Al-Baqarah: 173).


Bekal terbaik kita dalam hidup ini bukan kekayaan yang melimpah ruah, mobil yang banyak, ladang sawah yang ribuan hektar atau rumah mewah milyaran rupiah, namun sekali lagi; ketakwaan. Ketakwaan ini yang mengantarkan manusia mendapatkan kesuksesan di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, dalam Islam, tak penting apa profesinya. Yang penting adalah bahwa mereka bertakwa. Presiden yang bertakwa, Ketua MPR yang bertakwa, Ketua DPR yang bertakwa, menteri yang bertakwa, gubernur yang bertakwa dan bupati yang bertakwa, lurah yang bertakwa. Demikian juga, pengusaha yang bertakwa, dosen yang bertakwa, hakim yang bertakwa, guru yang bertakwa, petani yang bertakwa, buruh yang bertakwa, pedagang yang bertakwa, ketua RT dan RW yang bertakwa. Dan seterusnya. Atribut ketakwaan ini yang menjadi orientasi utama muslim dalam kehidupan. 


Sahabat Abu Sa’id al-Khudri menceritakan, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW seraya meminta nasihat, ‘Wahai Nabi Allah, nasehatilah diriku’. Beliau menjawab:

عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ فَإِ نَّه جِمَاعُ كُلِّ خَيْرٍ

Berpegang teguhlah kamu pada ketaqwaan kepada Allah, karena sesungguhnya Taqwa kepada Allah adalah kunci segala kebaikan”. 


Dan bahkan ketika suatu saat Nabi ditanya tentang siapa keluarga Muhammad, beliau menjawab :

كُلُّ تَقِيٍّ

Semua orang yang bertaqwa adalah keluargaku”.


Jika kita mampu menggabungkan antara keimanan dan ketakwaan di dalam diri kita, maka kita akan termasuk orang yang terdapat di dalam firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًاۗ وَعْدَ اللّٰهِ حَقًّا ۗوَمَنْ اَصْدَقُ مِنَ اللّٰهِ قِيْلًا ١٢٢

Dan orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan janji Allah itu benar. Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (An-Nisa: 122).

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم.

Khutbah Kedua

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.a

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ. وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. للَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَ بَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ.

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. اللّهمَّ حَبِّبْ إلَيْنَا الإيمَانَ وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوْبِنَا وَكَرِّهْ إلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ وَاجْعَلْنَا مِنَ الرَّاشِدِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ.

Oleh: Ahmad Fauzi, M.A


Keislaman Terbaru