Keislaman

Hukum Menjual Uang Arisan

Sabtu, 17 Mei 2025 | 09:57 WIB

Hukum Menjual Uang Arisan

NUOK/foto: ilustrasi

Siak, NU Online Kepri 

Hukum Menjual Uang Arisan
Disebuah perkampungan, sebutlah  perkampungan X sering terjadi permasalahan uang arisan yang berimplikasi pada hukum Islam. Semisal si A mendapatkan uang arisan dikarenakan si A belum membutuhkannya, kemudian ia menawarkan kepada si B untuk membelinya, karena si B ini adalah sesama teman arisan yang sedang kecepit ekonomi, dan kebetulan arisannya belum keluar.

Dalam perjanjiannya kedua belah pihak telah sepakat mengikat janji di atas kertas yang bermateraikan 10.000, dan disaksikan oleh dua teman sesama arisan.  Dalam isi perjanjiannya disebutkan: si A mendapatkan uang arisan sebesar Rp. 25.000.000,- dan siap untuk diberikan/dipinjamkan kepada si B sebesar Rp. 24.000.000,- tetapi bila suatu saat si B arisannya keluar baik dalam tempo yang singkat atau lama, maka si B harus mengembalikannya kepada si A sebesar Rp. 25.000.000.-. 

Itulah permasalahan yang hingga saat ini masih mengakar bak benang kusut yang susah untuk diurai bahkan telah membudaya di suatu perkampungan X. ini tentunya perlu diberikan suatu pemahaman ayat-ayat al-qur’an dan al-hadits maupun hujjah para fuqoha, sehingga masyarakat pada umumnya dan kampung X khususnya bisa tersadarkan, karena praktik tersebut tidak dibenarkan oleh agama dan merugikan sebagian pihak.

Kejadian yang diilustrasikan di atas pada hakikatnya bila ditelaah sama dengan praktik riba, karena si B meminjam uang kepada si A sebesar Rp. 24.000.000,- dan harus mengembalikannya lagi kepada si A sebesar Rp. 25.000.000,-, maka sisa atau lebih yang sebesar Rp. 1.000.000,- itulah yang dinamakan dengan riba. dan Allah swt sudah melarangnya sesuai denan firmanNya. 

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا 
Artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al Baqarah: 275)
Kemudian Rasulullah saw juga telah bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).
Kemudian bagaimana fikih mazhab syafi’i memandang tentang riba ?
Imam Syafi’i mendefinisikan riba sebagai adanya tambahan atau keuntungan yang tidak wajar dalam transaksi utang piutang atau jual beli barang-barang ribawi, seperti uang kertas, emas, perak, dan makanan pokok. 


Berkata Imam Syafi.i:
قال الشافعي: والربا من وجهين: النسيئة والتفاضل   
Artinya: "Riba itu ada dua macam: penangguhan (nasi'ah) dan kelebihan (tafadhul).
Imam Syafi'i membagi riba menjadi dua kategori utama: 
Pertama adalah riba fadhl kemudian Kedua riba nasi'ah. 
Riba fadhl merujuk kepada tambahan dalam pertukaran barang sejenis yang terjadi secara langsung, sedangkan riba nasi'ah adalah tambahan yang dikenakan karena penundaan waktu dalam transaksi kredit. Semisal seseorang yang membeli sepeda motor dengan cara kridit melalui leasing, atau seseorang yang belanja beras di warung dengan sistem mengambil dahulu, sebulan kemudian baru membayar.

Dalam kaitannya dengan kasus menjual arisan, imam Syafi’i dalam pandangan penulis ini masuk ke dalam jenis riba fadhl. Riba fadhl, yaitu tambahan dalam pertukaran barang-barang ribawi yang sejenis, seperti menambahkan jumlah uang saat mengembalikan utang.


Imam Syafii mengharamkan riba fadhl karena dianggap sebagai bentuk penipuan atau penambahan yang tidak wajar dalam transaksi hutang piutang atau jual beli,  kemudian Imam syafi’i menjelaskan bahwasanya riba fadhl hanya berlaku untuk transaksi tukar menukar barang ribawi yang sejenis., semisal uang dengan uang, beras rojo lele dengan beras rojo lele. Di mana satu pihak memberikan lebih banyak beras dari yang seharusnya. 


Riba fadhl merupakan tambahan yang tidak wajar dalam transaksi jual beli barang sejenis, dan hukumnya haram menurut pandangan Imam Syafii. Hal ini bertujuan untuk menjaga keadilan dalam transaksi dan mencegah penipuan atau eksploitas


Itulah tanggapan penulis tentang kasus penjualan uang arisan yang terjadi di suatu kampung X, oleh  karenanya penulis memohon saran dan kritik untuk perbaikan argumentasi penulis yang penulis ambil dari hujjah Imam Syafi’i, demi perbaikan tulisan yang saya paparkan.
KOLUMNIS : Masruri al-Barbasyi