Isra’ dan Mi’raj Menurut Sayyid Ja'far Al-Barzanji
Peristiwa persis kapan terjadinya isra’ dan mi’raj para ulama masih debatable, para ulama memiliki argumentnya masing masing. Tetapi jumhur ulama menyepakati bahwa nabi Muhammad SAW di isra’ dan mi’rajkan oleh Allah SWT pada malam Jumat tanggal 27 rajab tahun 621 M, atau tahun 10/11 dari kenabian.
Sehingga Pemerintah Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadikan setiap tanggal 27 rajab sebagai hari libur nasional, bahkan Istana Negara pada tanggal tersebut selalu mengadakan acara seremonial peringatan Isra’ dan mi’raj, yang dihadiri oleh presiden, menteri, anggota DPR/MPR, serta duta besar negara sahabat dan tamu undangan lainnya.
Merujuk pada kitab al-Barzanji karya Sayyid Jafar al Barzanji, nama lengkapnya adalah Sayyid Zainal Abidin Jafar bin Hasan bin Abdul Karim al-Husaini asy-Syahzuri al-Barzanji (1716-1763 M). Beliau ulama besar keturunan Rasulullah SAW lewat jalur Sayyid Baqir bin Sayyid Zainal ‘Abidin.
Di mana kitab al-Barzanji sebagai rujukan khas kaum ahlus sunnah wal jama’ah yang sering kita jumpai dan dibaca di pondok pesantren maupun di masyarakat, baik ketika acara maulidan di bulan Rabiul Awaal maupun acara pemberian nama pada bayi ketika akikah.
Ada dua makna terkait kata isra’ dan mi’raj, yakni makna secara bahasa (etimologi) dan makna secara istilah (terminology).
Makna isra’ dan mi'raj secara bahasa
Isra’ secara bahasa berarti perjalanan di suatu malam hari, misal bila si Zaid melakukan perjalanan di malam hari dari kota Batam menuju kota Pekanbaru, apakah ia menggunakan kendaraan berupa pesawat terbang, atau speed Boats, lalu dalam waktu semalam si Zaid dapat melakukannya pulang pergi sebanyak sekali, dua kali atau bahkan lebih, maka hal demikian si Zaid telah melakukan isra’ dalam arti bahasa.
Adapun makna mi’raj secara bahasa adalah naiknya seseorang ke tempat yang lebih tinggi. Misal si Zaid naik ke atas atap rumah atau pohon kelapa menggunakan alat bantu tangga, berarti si Zaid pada saat itu juga telah melakukan mi’raj. Tentunya dalam hal ini tidak ada batasan berapa kali si Zaid naik ke tempat yang lebih tinggi dalam waktu yang bersamaan.
Makna isra’ dan mi’raj secara istilah sesuai kitab al-Barzanji
Makna isra’ secara istilah sesuai kitab al-Barzanji halaman 62 disebutkan:
ثُمَّ أُسْرِيَ بِرُوْحِهِ وَجَسَدِهِ يَقَظَةً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَرِحَابِهِ الْقُدْسِيَّةِ
Artinya: Kemudian beliau dijalankan di malam hari dengan ruh dan tubuhnya dalam keadaan jaga dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan serambinya yang suci.
Jadi, dari kitab tersebut dapat kita simpulkan yang di isra’kan hanya nabi Muhammad SAW saja, lokasi dan tempat tujuannya sudah ditentukan oleh Allah SWT, yakni dari majid al-Haram menuju Masjid al-Aqha, kemudian kejadiannya juga hanya sekali saja dalam seumur hidup.
Makna Mi’raj secara istilah sesuai kitab al-Barzanji adalah: “Dan beliau (Nabi Muhammad SAW) dimi‘rajkan (dinaikkan) ke langit. Lalu beliau melihat Adam di langit pertama, yang telah diagungkan dan ditinggikan oleh kebesaranNya.
Di langit yang kedua beliau melihat Isa bin Maryam, gadis yang bakti dan bersih, dan putra bibinya (dari ibu), Yahya, yang telah diberi hikmah ketika masih kanak-kanak.
Di langit yang ketiga beliau melihat Yusuf dengan romannya yang tampan.
Di langit yang keempat beliau bertemu Idris, yang kedudukannya diangkat dan ditinggikan oleh Allah.
Di langit yang kelima beliau bertemu Harun, yang dicintai di kalangan umat Bani Israil.
Di langit keenam beliau melihat Musa, yang telah diajak berbicara oleh Allah Ta‘ala dan ia bermunajat kepada-Nya.
Dan di langit yang ketujuh beliau melihat Ibrahim, yang telah datang kepada Tuhannya dengan hati yang bersih dan maksud yang baik. Dan Tuhan telah memelihara dan menyelamatkannya dari api Namrudz.
Kemudian beliau dinaikkan, diangkat ke Sidratul Muntaha sampai beliau mendengar deritan qalam (pena) mengenai urusan-urusan yang ditetapkan. Sampai ke maqam keterbukaan tirai dan beliau didekatkan oleh Allah pada-Nya. Dan Dia hilangkan baginya tirai cahaya-cahaya keagungan.
Allah perlihatkan kepadanya dengan kedua mata kepalanya apa yang Dia perlihatkan dari hadirat ketuhanan. Dan Dia hamparkan baginya hamparan pengambilan dalil. Allah memfardhukan atasnya dan atas umatnya lima puluh kali shalat. Kemudian awan anugerah itu muncul sehingga dikembalikan kepada shalat lima waktu.
Lima waktu itu mendapat pahala lima puluh kali shalat sebagaimana Dia kehendaki dan tetapkan pada azali. Kemudian beliau kembali malam itu juga, lalu Ash-Shiddiq membenarkan Isra-nya itu. Begitu juga setiap yang mempunyai akal dan pemikiran. Tetapi suku Quraisy mendustakannya dan menjadi murtadlah orang yang disesatkan oleh setan dan digelincirkannya”.
Masruri al-Barbasyi, Penulis adalah alumni PonPes Raudlotul Qur’an Mangkang Kulon Semarang