Pertama-tama saya ingin mengucapkan beribu terima kasih pada segenap orang yang terlibat dalam Pemilu kali ini. Sehingga kemudian segenap warga bangsa bisa menyalurkan hak pilihnya dan tentunya pemilihan umum bisa berjalan lancar. Saya tahu banyak sekali tantangan-tantangan dan rintangan-rintangan yang dihadapi para insan yang terlibat dalam Pemilu ini.
Mulai dari pendistribusian surat suara yang harus menerjang banjir. Melewati jalan berlumpur, hingga harus menaklukkan gunung. Belum lagi, sebelum-sebelumnya harus melakukan berbagai bimtek dan pembekalan yang tentunya harus mengorbankan pekerjaan, mengorbankan waktu luang yang seharusnya dipakai bersama anak-anak.
Untuk itu semua apresiasi tinggi harus kita berikan!
Di sisi lain, kepada para politisi sejati yang dilahirkan untuk menegakkan demokrasi, saya punya pertanyaan sederhana. Sederhana tanpa harus banyak mengulang kata. Apalagi mengubah makna. Begini
Setiap pemilu atau sebelum pencoblosan kenapa yang selalu dibicarakan adalah soal harga satu suara?
Pak? Ini real terjadi di masyarakat bawah. Terjadi pada konstituen Anda. Saya pun yakin bapak-bapak sekalian tahu betul akan hal ini. Pertanyaan lanjutannya, kenapa bisa begini, Pak? Apakah Pemilu memang dirancang untuk memuluskan praktik politik uang. Tentu tidak, bukan?
Dua hari lalu, seorang teman kerja secara sadar mengakui akan mencoblos si Anu dari partai "X". Sebab timses dari calon itu sudah menyetorkan sejumlah uang secara cash. "Kalau yang lain (calon) masih dari kemarin janji-janji aja," ujarnya kepada saya tanpa ada beban. Menurutnya lagi, di dukuhnya sebenarnya sudah banyak para relawan dan timses yang masuk cuman hanya belum sepakat soal angka.
Seorang kawan, sejak seminggu lalu sudah diminta salinan fotocopy KTP miliknya. Dan yang meminta bukan hanya seorang. Katanya, dijanjikan sejumlah uang saat pencoblosan.
Di pasar ikan ketika menemani istri berbelanja, samar-samar terdengar ada ajakan untuk memilih calon tertentu dengan iming-iming sejumlah uang. "Kalau dari partai itu, saya dengar malah lebih besar."
Pak, bapak-bapak yang terhormat. Bisa tidak kemudian, Pemilu akan datang kita geser outputnya betul-betul memilih orang-orang yang berintegritas. Bisa tidak kita menggerakkan orang datang ke TPS bukan dasar uang tapi atas dasar hati nurani dan tanggung jawab untuk bangsanya. Bisa tidak, Pak?
Saban Pemilu selalu begini kita, Pak? Di level atas, kita bicara indeks demokrasi yang membaik. Kita bicara program-program jangka panjang, kita bicara bonus demografi. Kita bicara demokrasi oleh rakyat, kita bicara perbaikan kesejahteraan, kita bangga menyatakan kita adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Di level bawah, di masyarakat kita, nggak sampai itu, Pak. Bukan itu, Pak? Masyarakat kita tahu dan sudah masuk dalam memori otaknya bahwa Pemilu adalah ajang mencari uang tambahan. Saya pun lagi-lagi mau bilang, bapak-bapak itu pasti tau, lembaga-lembaga survei juga tau. Tapi, mau sampai kapan?
Pak, lima tahun lagi masih lama. Mohon segera dirancang sistem untuk benar-benar membikin Pemilu sebagai ajang untuk mencari orang-orang terbaik. Dirancang sebuah sistem agar masyarakat kita datang ke TPS dengan perasaan senang dan ikhlas. Yakin saya itu bisa direalisasikan.
Kalau masih saja seperti Pemilu-pemilu sebelumnya, saya kok malah mikirnya lebih baik ditiadakan saja Pemilu itu!