• logo nu online
Home Warta Nasional Daerah Melayu Keislaman Opini Pendidikan Sosok Khutbah Pemerintah Parlemen Pustaka Video Mitra
Kamis, 25 April 2024

Opini

1 ABAD

Refleksi Satu Abad NU

Refleksi Satu Abad NU
KH Fadholi Farkan (Wakil Ketua 1 PCNU Tanjungpinang).(Foto:NUOK/Dok.pribadi)
KH Fadholi Farkan (Wakil Ketua 1 PCNU Tanjungpinang).(Foto:NUOK/Dok.pribadi)

Pesatnya perkembangan zaman serta tak terbendungnya arus modernisasi  mengharuskan semua lapisan untuk sigap dalam beradaptasi dengan capat dan tepat, tidak terkecuali Nahdlatul Ulama. Sebagai jam'iyah  terbesar di Tanah air, jika tidak ingin tergerus arus zaman maka sudah seharusnya terus berinovasi menyesuaikan diri dengan alur perkembangan dan perubahan tanpa harus meninggalkan indentitasnya.

NU memposisikan diri sebagai jam'iyah atau organisasi keagamaan yang tetap menjaga tradisi dan budaya selama  tidak bertentangan dengan nilai nilai syariat. Dengan jargon Al Muhafadhatu 'alal qadim shalih wal akhdu biljadidil ashlah (Menjaga nilai nilai luhur yang baik serta mengembangkan nilai nilai baru yang juga baik), dipegang jam'iyah sampai saat ini.


Pernah pada suatu waktu, al Faqir mengikuti pelatihan dengan judul Pemantapan Kiprah Dai dan Penyiar yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau di Batam, Pada satu sesi dialog, salah seorang narasumber dari Universitas Ibnu Sina membawakan sebuah analogi yang begitu menarik, beliau mengajukan pertanyaan kepada peserta, "siapa yang hari ini hadir dahulu tidak mengenal Fuji Film, Kodak, dan sederet nama besar perusahaan teknologi yang sempat menjadi raksasa di zamannya dan saat itu?


kita tidak pernah terfikir bahwa nama nama tersebut kelak tinggal nama saja dan dengan cepatnya tergantikan oleh hadirnya  teknologi yang lain yang tidak pernah sedikitpun terbersit dalam minda kita akan kehadiranya. Namun, saat ini semua itu nyata hadir dalam setiap denyut nadi kehidupan kita." Analogi ini membawa kita untuk berfikir bahwa tidak menutup kemungkinan, Nahdlatul ulama sebagai jam'iyah dengan pengikut yang konon saat ini berjumlah lebih dari seratus juta beserta seratus Tigabelas PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) di seluruh dunia kelak akan tergantikan oleh yang baru-baru hadir.


Ini bisa saja terjadi apabila pengurus dan warga NU di semua tingkatan hanya memposisikan diri di zona nyaman tanpa berupaya membaca alur perubahan serta berinovasi dalam pergerakan.


Di tengah gempuran nilai-nilai yang sangat bebas di dunia maya maupun dunia nyata, pengurus dan warga NU harus bersama-sama untuk saling mengisi  setiap ruang kosong  dengan tetap konsisten menjaga dan memelihara atmosfir dakwah yang sejuk serta memelihara tradisi sanad keilmuan. Sebagaimana pesan Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari dalam kitab Al Arba'ina hadistan fii mabadi jamiyati Nahdlatil Ulama, agar kita memperhatikan betul dari mana kita mengambil ilmu agama.


Kita dapat sedikit bernafas lega pada dua periode kepemimpinan KH Said Aqil Siroj, seorang Ulama akademisi, yang menyelesaikan S2 di sarang Wahabi. Namun, ia pulang dengan membawa ilmunya bukan budayanya. Di tangannya, NU telah berhasil mendirikan 40 lebih perguruan tinggi NU di seluruh wilayah Indonesia. Tentu saja ini menjadi harapan besar kita pada kepemimpinan NU saat ini, di bawah nakhoda KH Yahya Cholil Tsaquf,  program ini akan terus dilanjutkan sehingga NU yang selama ini dikenal dengan sistem pendidikan tradisionalnya juga bisa berkiprah lebih luas pada bidang pendidikan modern.


Segala usaha dan tujuan harus di dukung oelh pengurus struktural NU di setiap tingkatan. Dengan profesional melakukan tata kelola administrasi yang benar, melakukan upaya yang lebih intens dalam merangkul kultural agar bagaimana masyarakat merasakan kehadiran serta kemanfaatan jam'iyah ini baik dalam hal keagamaan ,sosial dan yang lainya. Hal ini bisa di lakukan dengan cara bersama-sama menghidupkan kembali tradisi membaca Maulid bertahlil bersama ketika terjadi kematian, mengajak masyarakat untuk membentengi diri dengan membaca Ratib dan istighotsah, dan tentunya masih banyak lagi wahana dakwah khas warga Nahdliyin untuk menginternalisasikan nilai Islam ke dalam budaya lokal yang lainnya.


Apalagi jika di tanah Melayu, Tanjungpinang, amaliah-amaliah ini pernah mengakar, tentu tinggal bagaimana kita mengukur apa saja yang harus diupayakan agar kembali tanah Melayu menjadi tempat suburnya Ahlussunnah Waljamaah sebagaimana ulama-ulama terdahulu mendakwahkannya.


KH Fadholi Farkan (Wakil Ketua 1 PCNU Tanjungpinang)


Opini Terbaru